Jumlah angkatan bersenjata atau tentara di Sri Lanka akan dipangkas secara drastis, imbas krisis ekonomi yang melanda negara di Asia Selatan itu sejak 2022 lalu.
Dengan diambilnya langkah ini, maka diharapkan dapat menekan pengeluaran pemerintah yang sudah bangkrut.
Pengumuman tersebut disampaikan langsung oleh Kementerian Pertahanan Sri Lanka dalam keterangannya yang dirilis pada Jumat (13/1).
Pihaknya mengatakan, sejumlah 65.000 dari total 200.000 tentara aktif akan diberhentikan penugasannya dan pensiun dini di tahun ini.
Secara keseluruhan, pemerintah Sri Lanka berencana untuk merampingkan jumlah angkatan daratnya menjadi 100.000 orang.
“Tujuan keseluruhan dari cetak biru strategis ini adalah untuk mewujudkan pasukan pertahanan yang sehat secara teknis dan taktis serta seimbang,” bunyi pernyataan itu, seperti dikutip dari AFP.
Sebenarnya, jumlah angkatan bersenjata di Sri Lanka dinilai sudah membengkak lebih dari satu dekade, menyusul berakhirnya perang saudara selama puluhan tahun yang berlangsung sejak 1983 hingga 2009.
Hampir 400.000 orang bertugas di militer pada kekuatan puncaknya di tahun 2009 — ketika pasukan pemerintah berhasil menumpas gerakan separatis Macan Tamil, yang menelan ribuan korban sipil dan perang pun berakhir.
22 Juta Penduduk Masih Terguncang Krisis
Pada saat bersamaan, pemerintah Colombo pun sedang merombak ulang kondisi keuangan negaranya yang berantakan akibat krisis ekonomi terparah sejak negara kepulauan itu merdeka dari jajahan Inggris tahun 1948.
Pekan ini, Sri Lanka melaporkan bahwa pendapatan negaranya tidak cukup untuk membayar gaji pegawai negeri dan pensiun, meski sudah ada penerapan kenaikan pajak sejak awal tahun 2023.
Selain itu, pemerintah juga tidak mampu membayar utang negara yang sudah menyentuh angka hampir USD 36 miliar (Rp 552 triliun).
Presiden Ranil Wickremesinghe telah menaikkan pajak dan memberlakukan pemotongan anggaran belanja negara secara drastis guna memuluskan jalannya bailout dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Krisis ekonomi memuncak pada Juli 2022 — ketika amarah publik pecah atas ketidakpuasannya terhadap pemerintahan eks Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Mereka menilai, pemerintahan yang dipimpin oleh dinasti keluarga Rajapaksa mengarahkan Sri Lanka kepada jurang keterpurukan.
Pengunjuk rasa menuduh pemerintah salah mengelola ekonomi dan menciptakan krisis valuta asing yang menyebabkan kelangkaan kebutuhan pokok seperti bahan bakar, gas, susu bubuk, dan obat-obatan.
Imbasnya, sejumlah 22 juta penduduk di negara itu diterpa inflasi hebat, kelangkaan bahan bakar, kekurangan infrastruktur medis, hingga pemadaman listrik.
Hingga akhirnya Rajapaksa kemudian didesak untuk mengundurkan diri dan kini digantikan oleh Wickremesinghe.
Source: Kumparan