Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa Singapura memimpin dalam hal menerima pandangan agama yang berbeda yang sesuai dengan budaya dan nilai-nilai nasional mereka, yang mengindikasikan tingkat toleransi beragama yang tinggi di Asia Tenggara.
Mengutip dari Channel News Asia, hasil studi yang dirilis oleh Pew Research Center ini menunjukkan bahwa Singapura merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memiliki jumlah orang dewasa yang berpindah agama selama masa hidupnya.
Penelitian ini mencakup enam negara termasuk Kamboja, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, dan Singapura. Survei ini mencakup beberapa agama, termasuk Buddha, Islam, Kristen, Hindu, Hindu, agama tradisional Tionghoa, dan kepercayaan lokal. Hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat Singapura secara umum menerima kelompok agama lain.
Hampir 90 persen orang dewasa Singapura percaya bahwa agama-agama seperti Islam, Kristen, Hindu, agama tradisional Tionghoa, dan kepercayaan lokal atau pribumi sesuai dengan budaya dan nilai-nilai Singapura. Menariknya, Singapura adalah satu-satunya negara yang disurvei di Asia Tenggara yang tidak memiliki agama mayoritas.
Studi ini juga mengidentifikasi tren perpindahan agama di Singapura. Di negara-negara lain yang disurvei, hampir semua orang dewasa mempertahankan agama yang mereka anut saat dibesarkan. Namun, di Singapura, sekitar 35 persen mengatakan bahwa mereka telah mengubah keyakinan agama mereka selama hidup mereka.
Menurut studi Pew, perubahan agama di Singapura telah menyebabkan penurunan yang signifikan pada jumlah penganut agama Buddha atau pengikut agama tradisional Tiongkok. Sementara itu, jumlah pemeluk agama Kristen dan mereka yang tidak memiliki afiliasi agama telah meningkat.
Namun, terlepas dari penurunan jumlah penganut agama Buddha dan agama tradisional Tionghoa, Singapura merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menunjukkan tren perubahan agama yang signifikan. Temuan ini mencerminkan tingkat keragaman dan toleransi agama yang tinggi di negara ini.
Menghubungkan Identitas, Agama, dan Budaya
Selain itu, hasil penelitian ini juga menggambarkan bagaimana identitas nasional dan budaya di Singapura tidak terlalu menekankan unsur etnis dan agama dalam perasaan kebangsaan. Dalam hal ini, responden diminta untuk menilai pentingnya berbagai penanda identitas, seperti kelahiran di Singapura, etnis Tionghoa, dan agama Buddha, dalam perasaan kebangsaan mereka.
Hasilnya menunjukkan bahwa warga Singapura cenderung kurang menekankan elemen-elemen nasionalisme ini dibandingkan dengan negara tetangga mereka. Meskipun hampir tiga perempat populasi Singapura adalah etnis Tionghoa, hanya 27 persen responden yang merasa bahwa berbicara dalam “bahasa nasional” Singapura, yang diidentifikasi oleh Pew sebagai bahasa Mandarin, merupakan hal yang penting. Sementara itu, bahasa Inggris mendominasi banyak aspek kehidupan, termasuk sekolah dan tempat kerja.
Menjadi orang Tionghoa dan beragama Buddha juga tidak terlalu penting, dengan hanya sekitar 19 persen dan 13 persen responden yang menganggapnya sangat penting. Sebaliknya, Singapura memiliki persentase responden yang tinggi (38 persen) yang tidak setuju bahwa budaya nasional mereka lebih unggul daripada budaya lain. Hanya 61 persen yang percaya bahwa budaya nasional Singapura lebih unggul.
Dalam hal ini, Singapura berbeda dengan negara-negara tetangga yang mayoritas penduduknya percaya bahwa budaya nasional mereka lebih unggul daripada budaya lain. Penolakan terhadap superioritas budaya nasional juga mengindikasikan semakin terbukanya masyarakat Singapura terhadap keragaman budaya.
Penelitian Pew mencerminkan tren yang konsisten dengan data sensus 2020 Singapura, yang menunjukkan peningkatan jumlah penduduk yang tidak memiliki afiliasi agama. Namun, temuan Pew juga menunjukkan bahwa mereka yang tidak berafiliasi dengan agama tidak sepenuhnya menolak kepercayaan dan praktik keagamaan atau spiritual. Sebanyak 65 persen dari mereka masih percaya pada konsep karma, 62 persen masih percaya pada keberadaan Tuhan atau “makhluk tak kasat mata”, dan 43 persen masih percaya bahwa kita dapat merasakan kehadiran orang yang telah meninggal.
Terlepas dari perubahan preferensi agama, mayoritas orang yang tidak memiliki afiliasi agama masih memiliki beberapa keyakinan agama atau spiritual. Hal ini mencerminkan kompleksitas identitas dan pandangan keagamaan di Singapura, yang terus berkembang seiring waktu.
Sumber : GOODNEWS