Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe telah mengumumkan bahwa pemerintahnya tidak akan mengizinkan negaranya digunakan sebagai pangkalan militer Tiongkok yang dapat berpotensi mengancam India. Wickremesinghe juga menekankan bahwa Sri Lanka adalah negara netral dan tidak memiliki perjanjian militer dengan Tiongkok.
 
Dalam wawancara dengan saluran televisi France 24, Ranil Wickremesinghe juga meyakinkan bahwa Sri Lanka juga terus meningkatkan kehadiran militernya sendiri di Pelabuhan Hambantota untuk memastikan bahwa Tiongkok tidak dapat menggunakannya untuk aktivitas anti-India.
 
Sebuah brigade tentara Sri Lanka telah ditempatkan di Hambantota, dan Kolombo akan segera memindahkan markas Komando Angkatan Laut Selatan ke area tersebut untuk memastikan keamanan pelabuhan.

Kolombo telah memberikan Pelabuhan Hambantota kepada China Merchants Group dengan masa sewa 99 tahun. Penyewaan dalam skema Belt and Road Initiative (BRI) itu memungkinkan Tiongkok menguasai pelabuhan strategis Samudra Hindia dengan sewa jangka panjang. Sebagian pihak menyebut skema BRI tak lain dan tak bukan merupakan jebakan utang.

Pelabuhan Hambantota memang hanya dikuasai sekelompok pedagang asal Tiongkok, namun hal tersebut bukan jaminan bahwa pelabuhan tersebut tidak akan digunakan untuk melakukan operasi militer melawan India. China Merchants Group merupakan bagian dari entitas milik Negeri Tirai Bambu, dan kemungkinan besar memiliki hubungan dekat dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT), jajaran pejabat pemerintah dan militer Tiongkok.

Kekhawatiran India bukan tidak berdasar. Pada Agustus 2022, sebuah kapal mata-mata Tiongkok yang menyamar sebagai kapal penelitian berlabuh di Pelabuhan Hambantota selama sekitar satu minggu.

Dalam menghadapi reservasi India, Sri Lanka pertama-tama menolak izin kapal Tiongkok untuk berlabuh di Hambantota, dan kapal harus menunggu beberapa hari sejauh 600 mil laut di laut lepas. Namun Sri Lanka akhirnya harus tunduk di bawah tekanan dari Beijing, dan mengizinkan rudal balistik Tiongkok dan kapal pelacak satelit ‘Yuan Wang 5’ berlabuh di Hambantota.

Kekhawatiran India

New Delhi khawatir alat pelacak kapal Yuan Wang 5 dapat mencoba mengintai sejumlah instalasi India saat belayar menuju Pelabuhan Hambantota. Namun, izin terakhir bagi kapal Tiongkok untuk singgah di Hambantota memiliki beberapa syarat.

Kapal Yuan Wang 5 diizinkan berlabuh untuk jangka waktu terbatas dan untuk “tujuan penggantian saja.” Tiongkok untuk dilarang untuk melakukan aktivitas yang dikatakan sebagai penelitian ilmiah di perairan Sri Lanka.

Sebelumnya pada 2014, hubungan antara India dan Sri Lanka mengalami ketegangan ketika Kolombo memberikan izin kepada kapal selam bertenaga nuklir Tiongkok untuk berlabuh di salah satu pelabuhannya. Padahal, izin awal bagi kapal Tiongkok untuk berlabuh di Hambantota telah diberikan oleh pemerintah Sri Lanka sebelumnya ketika negara kepulauan itu sedang bergolak karena krisis utang luar negeri dan sering bergonta-ganti pemerintahan.

Pemerintahan sebelumnya di Sri Lanka yang dipimpin Mahindra Rajapaksa dan Gotabaya Rajapaksa, telah mengikuti kebijakan pro-Tiongkok dan menerima skema Belt and Road yang telah membuat negara kepulauan itu jatuh ke dalam krisis utang. Sekarang, pemerintahan Sri Lanka yang stabil di bawah Ranil Wickremesinghe sedang berusaha menjaga jarak dengan Tiongkok dan memperbaiki situasi ekonomi negara yang terkepung dengan bantuan India.

Tiongkok, dengan investasi Belt and Road di bidang infrastruktur, bukan saja kreditur utama Sri Lanka dan penyebab utama krisis utang luar negeri di negara itu. Penolakan Tiongkok untuk merestrukturisasi utang membuat Sri Lanka untuk menerima paket dana talangan (bailout) dari Dana Moneter Internasional (IMF).

India, di sisi lain, telah menjadi jalur kehidupan Sri Lanka dalam krisis ekonomi yang sedang berlangsung. New Delhi telah berada di garis depan dalam memberikan bantuan ekonomi senilai hampir USD4 miliar ke Kolombo untuk mengatasi krisis.

Sementara itu, pada Maret 2023, IMF sepakat memberikan USD3 miliar kepada Sri Lanka $3 di bawah Extended Fund Facility (EFF) untuk pengaturan pembayaran yang diperpanjang selama 48 bulan. Di bawah skema tersebut, Sri Lanka segera menerima pembayaran awal sekitar USD330 juta.

“Tetapi sekarang penting bagi otoritas dan kreditor Sri Lanka untuk berkoordinasi secara erat dan membuat kemajuan yang dapat memulihkan kesinambungan utang di bawah program yang didukung EFF,” kata Kepala Misi Senior IMF di Sri Lanka Peter Breuer saat mengumumkan persetujuan pengaturan Fasilitas Dana yang Diperpanjang untuk Sri Lanka.

Hubungan India-Sri Lanka

Sebelumnya pada 8 Juli lalu, Ketua Parlemen Sri Lanka Mahinda Yapa Abeywardena mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada India sebagai “sahabat yang dapat dipercaya” karena telah menyelamatkan negara dan mencegah “pertumpahan darah” selama krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di tahun 2022.

Tidak ada satu negara pun yang memperpanjang bantuannya ke Sri Lanka seperti yang dilakukan oleh India, kata Mahinda. “Sri Lanka dan India adalah negara yang saling berhubungan erat, baik secara budaya, nasional, dan kebijakan. India telah menjadi rekan yang sangat dekat dan teman yang dapat dipercaya bagi India,” kata Mahinda di sebuah acara, seperti dikutip dari colombogazette.com.

India telah menegaskan kembali kesediaannya untuk memainkan peran konstruktif dalam mendukung upaya Sri Lanka untuk pulih dari krisis ekonomi. Pada 9 Juli 2023, Wakil Komisaris Tinggi India di Kolombo mengatakan bahwa perkembangan terakhir hubungan India-Sri Lanka telah memperkuat persahabatan dan kerja sama menyeluruh antara kedua negara.

“Kami adalah negara kreditur pertama pada Januari tahun ini yang menyampaikan jaminan pembiayaan yang diperlukan untuk memulai proses IMF,” sebut sang komisaris.

Pada Januari 2023, India menjadi negara pertama yang menyerahkan surat dukungannya untuk pembiayaan dan restrukturisasi utang Sri Lanka kepada IMF. Dukungan keuangan dan kemanusiaan dari India ke Sri Lanka bernilai USD4 miliar.

Sayangnya untuk Sri Lanka, Beijing masih membuat Kolombo terus menunggu restrukturisasi utang yang telah dijanjikan. Menteri Luar Negeri Sri Lanka Ali Sabry mengatakan bahwa pada 3 Juli 2023, Sri Lanka masih berharap Tiongkok akan membantu negaranya dalam upaya merestrukturisasi utang luar negeri.

Menurut Sabry, Tiongkok diyakini memegang lebih dari 50 persen dari total utang luar negeri Tiongkok sebesar USD41 miliar. “Kami telah melakukan beberapa putaran diskusi dengan mereka,” kata Sabry yang penuh harapan. “Kami sangat yakin bahwa Tiongkok akan membantu kami dalam restrukturisasi utang,” lanjut Sabry.

Proses restrukturisasi harus selesai pada September 2023, bertepatan dengan tinjauan pertama IMF atas paket bailout senilai USD2,9 miliar yang diperpanjang pada pertengahan Maret 2023. “Tinjauan pertama sangat penting dalam memulihkan kesinambungan utang,” kata Kepala Misi IMF Peter Breuer pada 23 Mei 2023, di akhir kunjungan ke Kolombo untuk meninjau program-program yang didukung IMF.

Janji Restrukturisasi Utang

Sri Lanka mendekati IMF untuk bailout pada April 2022. Sejak saat itu, Tiongkok cenderung menunda-nunda janjinya dalam mengimplementasikan janji restrukturisasi utang. Pada 3 November 2022, Sri Lanka mengatakan Tiongkok tidak mengubah pendiriannya untuk menerima “potong rambut,” istilah untuk menerima sedikit kekurangan dari nilai yang seharusnya. Pada 5 Desember 2022, Beijing terus bersikap ambivalen dan diam tentang pendiriannya atas pinjaman ke Sri Lanka.

Alasan yang jelas untuk dinginnya sikap Tiongkok adalah bahwa Sri Lanka telah mendekati IMF untuk paket bailout. Pada Maret 2022, Duta Besar Tiongkok untuk Sri Lanka Qi Zhenhong menolak permintaan Sri Lanka untuk merestrukturisasi pinjaman.

Menurut laporan dari Beijing, hingga pertengahan Juni 2023, Tiongkok belum melakukan apa pun terkait restrukturisasi utang untuk Sri Lanka. Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok Sun Weidong telah mengunjungi Kolombo dan mengadakan pertemuan dengan Presiden Sri Lanka.

Namun dalam pengumuman resmi yang dibuat setelah pertemuan antara keduanya, tidak disebutkan tentang restrukturisasi utang. Sun Weidong hanya mengatakan Tiongkok akan memberikan “dukungan maksimal” kepada Sri Lanka untuk pulih dari krisis ekonominya.

Laporan dari Sri Lanka mengatakan bahwa jaminan Tiongkok tentang restrukturisasi utang tidak mungkin terwujud di tahun 2023. Menurut sejumlah pengamat, Tiongkok sedang memainkan “petak umpet” dengan Sri Lanka tentang masalah restrukturisasi utang, karena Beijing ingin menandatangani lebih banyak perjanjian dengan Kolombo untuk “mengembangkan” Pelabuhan Hambantota untuk menutupi kerugian yang ditimbulkan di sana.

Tidak mengherankan jika Tiongkok mengalami kerugian di Hambantota. Sri Lanka sebelumnya telah mengajukan permintaan ke India untuk mengembangkan Pelabuhan Hambantota. Permintaan tersebut ditolak oleh New Delhi karena diketahui bahwa pelabuhan di lokasi tersebut tidak layak secara komersial. Tiongkok kemudian memberikan kredit ke Sri Lanka di bawah Belt and Road, dan menguasai Pelabuhan Hambantota ketika Kolombo tidak dapat membayar kembali pinjaman tersebut.

Kepentingan Tiongkok bukanlah keuntungan komersial, tetapi geopolitik berupa lokasi strategis di Samudra Hindia. Saat ini, dengan penolakan Sri Lanka terhadap potensi pembangunan pangkalan militer Tiongkok di Hambantota, Beijing tidak memiliki pilihan selain memastikan bahwa pelabuhan tersebut menjadi lebih berguna secara komersial.

Sumber : MEDCOM

Share.
Exit mobile version